Penulis :
Jamaludin,SE. MM
Cita-cita rakyat Indonesia adalah menjadi bangsa yang besar,
bangsa yang sejahtera, bermartabat dan dihargai warga dunia seperti yang
tersirat dalam butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Jembatan emasnya itu adalah
reformasi 1998. Sejak itu pula harapan makin jauh dari kenyataan, karena
terjebak masalah konseptual. Sehingga, persoalan kemiskinan dan distribusi
pendapatan menjadi terabaikan.
Nyatanya, angkatan kerja kita hampir 60% lulusan SD, dan
hampir 80% SMP ke bawah. Pekerja formal hanya 30%. Sedangkan 70% nya bergerak
di sektor informal. Upah sektor formal baru 2,4 juta rupiah perbulan, dan upah
sektor informal hanya seperempatnya. Para buruh yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu sebesar
33%, dan sebesar 55% bekerja kurang dari 45 jam per minggu. Penganggur 12 juta
orang. Diantaranya penganggur lulusan S1. Sebesar 52 juta orang berberak di
Usaha Kecil Menengah (UKM), 40 juta orang diantaranya tidak pernah mendapatkan
akses kredit usaha.
Dari jumlah itu, 9,9 juta orang diantaranya keluarga buruh
tani, 13,7 juta rumah tangga petani gurem dan 5 juta keluarga nelayan. Puluhan
juta buruh dan sektor informal tidak punya harapan masa depan yang cemerlang.
Jadi, sangat logis kalau 80% rakyat Indonesia miskin. Faktanya Gross National
Product (GNP) kita hanya 25.000 rupiah per hari per kepala. Sedangkan,
pendapatan 18.000 saja 50% nya benar-benar miskin.
Padahal, ekonomi bagi golongan menengah itu sederhana saja.
Bisa dilambangkan dengan y=c (ekonomi adalah pekerjaan adalah income adalah
konsumsi). Jumlah golongan ini sekitar
80%. Sedangkan menengah yang bisa menabung hanya sekitar 10% saja. Dan,
golongan atas yang bisa menabung atau investasi jumlahnya hanya 5% saja.
Diantaranya yang selama ini sudah dimanjakan dengan berbagai kebijakan ekonomi
dan moneter seperti pembauran (KLBI, BLBI, Pakto, 88, SBI, Paket IMF, Paket
BPPN, Kepres Nomor 24 dan nomor 26 tahun 1998, paket Century, dan lainnya yang
justru merugikan rakyat).
Tricle down effect yang menjanjikan keuntungan, itu hanya omong kosong belaka. Para
konglomerat yang sudah terlanjur dimanjakan dengan semua kebijakan tersebut,
malah melarikan 600 an triliun dana
BLBI. Kini, rakyat yang harus menanggungnya sebesar 60 triliun per tahun dari
tahun 1999 sampai 2030. Sebagai kompensasinya, subsidi pupuk terpaksa harus
dihilangkan. Ironisnya, negara yang dikenal agraris ini, petaninya malah
miskin.
Bahkan pada tahun 2008 tercatat sebagai pengimpor pangan terbesar ke 2
dunia setelah Mesir. Sebenarnya, perubahan itu mudah saja. Berilah peluang
kebijakan moneter kepada golongan miskin
dalam berbagai aktifitas terkait produksi pangan. Karena di sektor ini
ruang pertumbuhan masih terbuka lebar. Terbukti, pertumbuhannya mencapai 5,6% pada
tahun 2007. Sektor pertanian juga tumbuh 16,8%. Sedangkan sektor lainnya tumbuh
sekitar 1%. Daya serap tenaga kerja di sektor pertanian juga besar sekitar 41%,
sektor industri hanya 17% dan jasa 21%.
Untuk 5 tahun kedepan, mestinya pemerintah fokus pada upaya
membangun landasan ekonomi yaitu kecukupan pangan dan ketahanan pagan. Antara lain, buruh tani
yang jumlahnya 9,9 juta Kepala Keluarga (KK) itu harus dibuatkan program
intensifikasi pertanian dan peternakan. Petani gurem yang jumlahnya 13,7 juta
KK dengan pertanian terpadu (peternakan & perikanan). Nelayan yang 5 juta
KK dengan budidaya ikan, alat angkat, dan industri tepat guna. UKM yang 52 juta
dengan paket kredit bunga rendah dan
persyaratan mudah. Penganggur 12 juta dan 30 juta setengah penganggur dengan
diklat wirausaha dan industri pedesaan.
Secara statistik, juga harus disusun tingkat pendapatan dari
yang terendah sampai tertinggi mulai dari tingkat RT/RW di setiap provinsi.
Libatkan para ilmuan, LSM, Ormas, dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Libatkan juga para ulam dan tokoh dalam menangani moral bangsa.
Itu semua dalam rangka menciptakan keseimbangan distribusi
pendapatan, termasuk solusi untuk masalah-masalah riil yakni ekonomi,
pendidikan, kesehatan, perumhan, dan masalah lingkungan dan malalah lainnya
melalui tahapan : Kecukupan pangan, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi,
ketahanan nasional menuju ekonomi kesejahteraan yang kita cita-citakan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar